Berikut ini adalah isi buku catatan seorang perawan tua yang ingin sekali menikah dengan seorang lelaki yang saleh yang didambakan dapat menjaga kesucian serta kemuliaannya. Ia menyatakan kepada lelaki itu, “Saya tidak menginginkan materi apapun darimu. Bahkan misalnya kamu meminta harta kepadaku, aku akan memberikannya kepadamu, asalkan kamu mau menikah denganku.”

Selanjutnya silahkan Anda dengar sendiri, wahai pembaca yang budiman, cerita duka seorang gadis malang yang menyebut dirinya sebagai perawan tua. Ia mengatakan,

‘Buku catatanku ini berisi impian, angan – angan, bunga – bunga mawar, dan hati yang melayang disebuah taman yang asri penuh dengan kidung asmara, aneka kembang indah, kuda – kuda putih nan elok, dan lain sebagainya. Tetapi buku catatan ini aku tulis di atas dinding bebatuan hati yang pilu. Ketika aku mencium aroma harum perkawinan, darah pun mengucur deras dengan mendidih oleh panasnya rasa kerinduan, sehingga menimbulkan luka yang amat perih.

Aku mengiginkan kebahagiaan. Tetapi aku tidak sanggup menggapainya, karena aku masih tetap melajang. Ayahku melarangku keluar dari rumah. Sementara ibuku diam membisu. Ia hanya bias berkata sambil menangis; ‘Dahulu ketika aku masih seusiamu, aku digelandang oleh mereka sehingga akhirnya ayahmu bias ketemu dengan aku. Yang penting, selesaikan dahulu studimu.”

Mendengar itu saya berteriak, “Masya Allah! Lebih penting mana, studi ataukah membebaskan putrimu dari kekangan yang sangat menyiksa ini?”

Siapa bilang aku tidak bisa meneruskan studi setelah menikah nanti? Ilmu memang penting. Tetapi ia adalah masalah kedua, karena masalah pertama ialah menikah. Aku tidak habis pikir bagaimana masyarakat bisa menganggap hal itu sebagai aib? Padahal sejatinya aku ini justru sedang meniti yang halal dan mengikuti sunnah Nabiku Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.

Lalu bagaimana pandangan mereka jika yang aku sampai meniti yang haram? Tentu mereka akan membunuhku! Aku hany bisa memohon kepada Allah keteguhan, kesabaran, dan kelapangan. Itu hanya sekedar impian kosong. Ya, impian indah seorang gadis yang masih hidup melajang. Tetapi bagiku itu adalah impian yang menyiksa. Sekarang ini, siapa gadis yang hidupnya tidak merasa tersiksa jika masih menjadi perawan tua yang melewati masa – masa mudanya?

Perawan tua adalah nestapa bagi setiap wanita yang mengalaminya. Buktinya, perhatikan saja wajah – wajah murung mereka. Seandainya masyarakat mau tergerak memikirkan nasib dan penderitaan mereka tersebut, tentu dimuka bumi ini tidak aka nada wanita – wanita seperti mereka.

Benar. Dengan pilu aku katakan terus terang, bahwa orang sepertiku ini adalah laksana seekor singa lapar yang sedang berapa ditengah hutan yang penuh dengan aneka ragam makanan. Apa yang harus aku lakukan, wahai Tuhanku? Aku tahu, sesungguhnya orang yang sedang memegangi agamanya sekarang ini adalah seperti orang yang sedang memegangi seonggok bara yang sangat panas. Betapa orang akan sinis dan kasihan mendengar sebutan perawan tua.

Berkali – kali aku ingin mengibarkan bendera perkawinan setiap diundang menghadiri acara Walimah pengantin. Hatiku menjerit pilu setiap kali menyaksikan mempelai wanita dengan cantik mengenakan gaun pengantin yang berwarna putih dan pemerah pada sepasang pipinya. Perasaanku serasa sedang diaduk – aduk dan bergejolak tak menentu setiap melihat seorang wanita yang sedang mengandung sang calon buah hati. Dan hatiku terasa berdebar – berdebar keras setiap memandang anak – anak kecil sedang bermain didapanku dengan lucunya.

Tetapi yang bisa aku lakukan hanya sekedar menangis seraya membayangkan seandainya ku punya kesempatan untuk merasakan kebahagiaan – kebahagiaan itu.

Betapapun aku adalah manusia. Sebagai perawan tua aku masih punya harapan suatu waktu akan menikah. Jika sedang duduk didepan meja makan sendirian, aku membayangkan alangkah indahnya dan bahagianya jika ada lelaki pendamping hidup yang menemaniku. Tetapi itu hanya sekedar khayalan.

Wanita – wanita yang telah bersuami barangkali merasa terganggu oleh pertanyaan – pertanyaan yang aku ajukan; Apakah kamu merasa bahagia? Apakah suamimu benar – benar mencintaimu? Apakah ia masih setia meberimu hadiah – hadiah? Apakah…? Apakah…?

Aku mendengar kawanku memanggil istrinya, lalu mengajaknya bercanda, kemudian mereka pergi brjalan – jalan berdua kesebuah taman yang asri.

Ketika salah seorang dari mereka memandangku, aku berikap acuh dan tidak peduli dengan pura – pura menggosok – gosok mata yang tidak ada apa –apa. Padahal sejatinya di dasar hati yang paling dalam aku ingin seperti mereka. Bukankah aku ini juga manusia yang punya impian – impian indah seperti mereka?

Sangat boleh jadi mereka mengetahui apa yang sedang aku pikirkan.

Sebenarnya aku ingin sekali temanku itu menyapa atau memanggilku, sehingga aku akan segera menoleh kearahnya sambil tersenyum seraya menjawab, “Ya ada apa?” Tetapi itu hanya sekedar impian.

Aku mendengar adik perempuanku yang sudah menikah suatu hari berkata kepadaku, “Seandainya aku masih menjadi seorang gadis sepertimu…sebab perkawinan itu hanyalah tanggung jawab dan beban penderitaan.”

Boleh saja ia mengaku tidak bahagia atas perkawinannya dengan alasan karena suaminya tidak menyenangkan, atau tidak penuh perhatian, dan alasan – alasan lain. Tetapi seorang perawan tua sepertiku ini, bagaimanapun juga tetap memimpikan kehadiran seorang suami yang akan memberikan rasa cinta kasih dan sayang dan lembut, serta perhatian tulus kepadaku. Aku tidak peduli kedudukannya, dan aku juga tidak peduli sekalipun ia orang miskin. Sebab aku tetap percaya pada firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala, “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya.” Aku tidak perduli kewarganegaraannya, apakah ia orang arab atau orang non arab. Yang penting bagiku ia orang muslim yang taat kepada syari’at Allah dan bersedia bersama – sama dengan ku membina kehidupan yang bahagia. Jika ia memanggilku, aku akan memenuhi panggilannya dengan segenap jiwa danb ragaku. Sesungguhnya aku hanya ingin mencari ridha Allah.

Mendekatlah kepadaku, wahai pasangan hidupku. Dengan izin Allah kamu akan mendapatkan kebahagian rumah tangga bersamaku. Datanglah, dan jangan kamu hiraukan masalah materi. Kita dapati banyak orang – orang miskin yang justru sangat dicintai oleh Allah. Aku bersedia untuk menerima yang sedikit. Bahkan kalau mau, aku kan memberimu harta. Jangan persoalkan dirimu yang bukan orang arab, karena aku pasti akan menerimamu. Yang aku utamakan ialah kebaikan akhlak, dan hal itu tidak memandang unsure kebangsaan. Pinanglah dan nikahilah aku, walaupun dengan maskawin hafalan ayat Alqur’an. Sebab, bagiku itu adalah maskawin yang paling mahal di muka bumi. Datanglah, karena aku masih setia menantimu dan mengharapkanmu.

Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu seorang suami yang saleh.”


A.M.S
Riyadh


_____________
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Tuhfah Al-Arus wa Bahjah An-Nufus “Kado Pernikahan” Hal: 46-50, lihat, Majalah Al-Usrah As-Sa’udiyah, edisi 74.

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih telah membaca tulisan ini.
Silahkan beri komentar :)